Pilpres Sebentar Lagi, Antara Adu Wacana dan Drama Politik Indonesia
Oleh: M.Khomsul Hubbi Akbar H.R., Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Mataram. NIM 210301008
PEMILIHAN Presiden Indonesia tinggal sebentar lagi, namun alih-alih beradu kebijakan, progress perpolitikan di Indonesia malah diwarnai dengan kontroversi yang dipanjang-panjangkan sehingga menjadi drama yang berpotensi bisa menutup berita-berita mengenai kebijakan tiap calon. Jokowi angkat bicara mengenai politik di Indonesia akhir-akhir ini.
“Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah, terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat,” ujar Jokowi dalam pidato pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-59 Partai Golkar di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (6/11/2023).
Selain itu, Jokowi juga menganggap bahwa tahun pemilu ini harusnya di warnai dengan kompetisi ide dan kebijakan bukannya malah adu perasaan.
“Mestinya kan pertarungan-pertarungan ide dan gagasan, bukan pertarungan perasaan, kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot kita semua,” lanjut Jokowi.
Hal-hal seperti ini, merupakan hal yang seharusnya tidak diperpanjang hingga bisa menutupi kabar-kabar tentang kebijakan para calon. Kebijakan para calon berguna untuk menimbulkan berbagai pendapat pada masyarakat sehingga masyarakat dipaksa berpikir dan mampu mengeluarkan gagasa-gagasan tentang kebijakan seorang calon. Sehingga hal ini bisa menimbulkan pemilih cerdas dan kritis.
Pentingnya membangun opini publik agar masyarakat bisa kritis di jabarkan oleh Gusdur dalam humornya, Melansir nu.or.id Gusdur menceritakan tentang perumpamaan pergelaran otak sedunia yang mengatakan “otak Indonesia tidak pernah dipakai untuk berpikir. Jadi semua yang ada di otak Indonesia masih baru dan belum pernah dipakai, maka nilainya pun menjadi sangat tinggi”.
Jika membandingkan dengan Perpolititikan di barat, politik barat diributkan dengan kebijakan para calon, di Indonesia malah diributkan dengan hal-hal seperti umur pemimpin yang masih dibawah 40 tahun dan keaslian ijazah calon presiden. Padahal sudah saatnya untuk memberikan kesempatan pemimpin muda untuk menunjukkan eksistensinya dalam memimpin negara, sama halnya pada saat Finlandia memilih Sanna Mirella Marin menjabat sebagai perdana Menteri Finlandia yang pada saat itu masih berusia 34 tahun. Dimana problem mengenai umurnya tidak dibahas panjang lebar dan dibuktikan dengan prestasi dari kebijakan-kebijakannya.
Selain itu, kita juga sebagai masyarakat harusnya tetap men-support generasi muda, dimana generasi muda sekarang dianggap lebih kritis dan melek teknologi di masa serba digital ini. Tugas kita sebagai pemilih hanya memilih orang-orang yang menurut kita pantas menjadi pemimpin diantara kita, berdasarkan kebijakan dan potensinya dalam memimpin negara.
Dilansir dari Republika.co.id dalam pidato Abu Bakar ketika dibaiat oleh kaum muslimin, mengatakan bahwa “Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya”. Jadi, sebagai pemilih cerdas, maka kita harus tetap membantu dan bersinergi dalam program dan kebijakan siapapun yang terpilih menjadi pemimpin nanti.
Irwan prasetyo dalam channel You Tube mengatakan “Jangan sampai bonus demografi jadi bencana demografi karena kita lebih sibuk dengan hal-hal yang tidak produktif”. Maka, sudah seharusnya rakyat Indonesia di suguhi dengan berita-berita yang mengedukasi tentang kebijakan politikus dan penjabaran mengenai kekhawatiran yang terjadi di Indonesia seperti kemiskinan, infrastruktur dan pemanfaatan lapangan kerja dalam rangka menarik perhatian masyarakat Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan ini.