Jurus Protes Politik Kekinian
OPINI
RADIOSINFONI.COM: Protes politik anak muda kekinian mungkin tidak seriuh dahulu. Di mana dahulu aktivis dari generasi 80an atau 90an akrab dengan tampilan fisik. Rambut gondrong, jin belel, dan menenteng buku Chairil Anwar ke mana-mana.
Sekarang, semua sudah berubah. Protes terhadap nasib rakyat tidak banyak dilakukan dengan membentangkan spanduk di perempatan jalan plus suara orator di depan mikrofon dan pengeras suara. Namun lebih ditempuh melalui self branding di media sosial, yakni mengajak orang untuk lebih banyak terlibat dalam memberikan komentar, retweet dan like agar aspirasi untuk perubahan politik tercapai.
Ada pula keterlibatan anak muda dalam perubahan politik bisa disebut sebagai fakta baru dalam jagat pergerakan politik milenial yang lebih banyak disalurkan melalui media online ketimbang offline. Hingga ke depan, aksi kreatif yang viral di media sosial lebih disukai generasi milenial dibandingkan dengan demonstrasi politik yang kerap berakhir dengan bentrokan fisik. Sebagaimana Muhammad Faisal dalam bukunya Generasi Phi terbitan Republika 2017.
Dari situ juga, anak muda dalam meraih keadilan rakyat tampaknya memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan didasari pada demografis pemuda di Indonesia. Secara jumlah pemuda di Indonesia kian bertambah. Puncaknya akan terjadi pada 2028. Saat jumlah pemuda melebihi kaum tua. Tak pelak, suara pemuda bisa jadi penentu utama sikap elite politik. Sama halnya suara pemuda akan menjadi penentu utama naiknya para elite politik di kursi kekuasaan.
Ada juga cerita lain, protes publik anak muda disalurkan melalui petisi online. Pada satu kasus, satu petisi online yang didaftarkan di change.org misalnya, bisa mendapatkan dukungan lebih dari 300.000 orang. (AGUS SANTHOSA)