Bisakah Kepala Daerah di NTB Tidak Cawe-Cawe di Pemilu 2024
Oleh Japriani Nurul Hidayah, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram. NIM 201301005.
MASA KAMPANYE yang sudah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) akan berlangsung 28 November 2023 – 10 Februari 2024. Masa ini menggambarkan figur sejumlah kandidat di Pemilu dan Pilpres yang akan belomba menunjukan kemampuan apakah layak duduk di kursi panas untuk memimpin daerah dan Indonesia. Di balik figur yang menjadi kandidat itu pasti memiliki simpatisan, pendukung yang biasa disebut mereka yang ada di balik layar. Mereka yang menyiapkan, dan mendukung kandidat legislatif dan Presiden, walau sekarang belum terang-terangan mendukung salah satu kandidat.
Salah satu potensi masalah yang sering muncul dalam setiap gelaran Pemilu, Pilpres, dan Pilkada di Indonesia adalah perihal netralitas. Netralitas bukanlah hal yang baru didunia perpolitikan, Bawaslu mendapatkan amanah melakukan pengawasan dan penindakan terhadap netralitas birokrasi, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 93 huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang bunyinya “Bawaslu bertugas mengawasi netralitas aparatul sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota kepolisian Republik Indonesia”. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengharuskan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara berposisi netral, bebas dari intervensi semua golongan dan partai politik. Jika melihat secara garis besar yang menjadi faktor ketidak netralan seseorang itu berasal dari pemimpinnya sendiri yang menggerakan anggotanya untuk mendukung peserta pemilu.
Dari data analisis
pelanggaran netralitas ASN tahun 2017-2018, ada 10 persen ASN diduga bersikap tidak netral, ada 20 persen ketidaknetralan ASN tersebut dilandasi niat, 70 persen ASN terbukti tidak netral karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak lain. Melihat ASN tidak melanggar ketentuan dan harus netral sama seperti menunggu janji manis lantas diingkari. Untuk itu, salah satu pihak yang paling berperan mendorong ASN wajib netral adalah kepala daerah. Dalam konteks NTB adalah Penjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat H.L Gita Ariadi. Sebagai kepala daerah yang diamanahkan menjadi Pj Gubernur NTB, Gita Ariadi harus mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan demi menjaga kenetralitasan dalam Pemilu. Sebagai seorang Pj Gubernur harus bersikap netral. Jika tidak, maka akan dipertanyakan kenetralannya sebagai Pj Gubernur. Mengapa penulis dorongan netralitas, karena H.L Gita Ariadi pernah menghadiri kegiatan Partai PDIP dan bertemu dengan para politisi dari partai tersebut di Lombok Tengah pada 10 September 2023, sehingga Pj Gubernur masuk dalam laporan dan diproses oleh Bawaslu RI. Namun, Gita Ariadi memberi penjelasan bahwa kehadirannya pada saat itu dalam status sebagai Sekda Provinsi NTB atau sebagai pembina politik di daerah.
Netralitas Gita Ariadi memang tengah diuji.
Istri Pak Gita, Bu Lale Prayatni saat ini maju di Pileg DPRD NTB. Demi prinsip netral itu, Gita menegaskan bahwa dirinya tidak akan cawe-cawe (tidak ikut-ikutan), dan berusaha netral. Sementara Jika melihat dunia politik yang begitu keras, maka mungkin tidak ada satupun orang yang bisa netral. Apalagi ketika meilhat orang terdekatnya mencalonkan diri sebagai pemimpin. Banyak celah yang bisa digunakan suami untuk mendukung kolega maju sebagai kontestan. Misal melalui bantuan staf, orang terdekat atau melalui kegiatan-kegiatan yang bernuansa pemerintahan
Saat ini Pj Gubernur di Indonesia tengah mendapat sorotan atas setiap gerak-geriknya menjelang pemilu 2024. Juga pencalonan anggota keluarga. Pemerintah telah mengingatkan para ASN agar membaca dan mematuhi SKB lima lembaga/kementerian terkait aturan netralitas ASN dalam Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, ASN dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye maupun diikutsertakan dalam gelaran kampanye pemilu oleh para peserta pemilu 2024. Hal ini diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu pasal 280 ayat (3) yang berbunyi “Bila melanggar aturan tersebut, ASN, anggota TNI, Polri akan terkena tindak pidana pemilu dengan ancaman 1 tahun penjara dan denda Rp 12 Juta”.
Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengeluarkan aturan berisi keluarga dari kepala daerah tidak boleh mencalonkan diri agar tidak membuat dinasti politik dan netralitas kepala daerah ikut terjaga.