Perempuan dan Politik
BERBICARA MENGENAI PEREMPUAN tidak akan ada habisnya. Indonesia yang notabene sebagai negara hukum menegaskan tidak ada perbedaan antara laki laki dan perempuan dalam menggapai mimpi untuk sisi mana pun. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa mewujudkan mimpi termasuk perempuan Indonesia juga bisa menggapainya dari sisi mana pun.
Perempuan tidak lagi terkubur dalam ruang-ruang penindasan intelektual dan terus muncul. Dulu perempuan tidak boleh mengajar sebagai civitas academic, tapi hanya boleh mengurus anak, memasak di dapur dan mengurus rumah tangga. Saat ini, perempuan sudah bisa merasakan dunia pendidikan.
Perempuan tidak hanya bertugas dan bertanggung jawab atas ruang kosong dalam rumah tangga, namun perempuan harus mampu berbicara tentang keindonesiaan ke depan karena perempuan adalah rahim peradaban generasi bangsa, dan itu ada pada Perempuan. Maka dari itu, perempuan harus mampu membaca dan melihat, bahkan membawa bangsa ke arah yang lebih maju.
Bicara mengenai politik, tidak mesti dilakukan oleh politisi, birokrat maupun pemerintah saja, namun seluruh elemen masyarakat berhak berbicara tentang politik. Sekarang, menjelang Pemilu 2024 di berbagai tempat nongkrong, warga mulai terlihat lihai memperbincangkan politik, memperdebatkan paslon mana yang akan duduk di kursi kekuasaan selanjutnya.
Representasi keterwakilan perempuan dalam dunia politik masih terpaut sangat jauh dengan laki-laki, bahkan di Indonesia, masih terbelenggu dengan latar belakang lebar seperti budaya patriarki. Walau sampai saat ini ada upaya terus memerus untuk mencegah kesenjangan itu terjadi. Menteri pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak (PPPA) terus mengupayakan peningkatan partisipan keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Pemerintah telah menerbitkan UU No.10 Tahun 2008. Pasal 55 ayat 2 dalam UU tersebut mengamanatkan sistem setiap tiga bakal calon harus ada satu orang perempuan diantaranya sebagai keterwakilan perempuan.
Avirmasi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di dunia parlemen nyatanya masih sangat jauh dari kata usaha pemenuhan itu bahkan keterwakilan perempuan sering menimbulkan pro dan kontra dalam internal partai.
Penulis meyakini bahwa ada hal yang fundamental yang membuat perempuan sulit masuk dalam dunia parlemen yakni budaya patriarki. Budaya yang masih sangat mengakar dengan anggapan bahwa derajat perempuan di bawah laki-laki. Perempuan selalu diidentikan dengan mahluk lemah yang senantiasa ada di belakang laki-laki.
Adanya stigma mengenai budaya patriarki ini juga mempersuasi perempuan di luar sana dengan anggapan bahwa itu telah menjadi hukum alam yang tak dapat diubah dalam pandangan orang lain. Sehingga membuat perempuan cenderung pesimis terhadap berbagai hal. Pun dominasi budaya patriarki ini menimbulkan ketimpangan gender, stereotipe, bahkan intimidasi terhadap perempuan.
PENULIS: Jumratul Faidah, Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Mataram).