Keanekaragaman Hayati Kosta Rika Ada di Lombok
Lombok Barat – Tiada tantangan yang terberat pada masa kini kecuali tantangan pemanasan gobal. Demikian kira-kira kalimat yang dapat melukiskan tulisan I Gede Ardika dalam Kepariwisataan Berkelanjutan Rintis Jalan Lewat Komunitas terbitan PT Kompas Media Nusantara 2018. Ardika, anggota Komite Etik Kepariwisataan Dunia ini menyatakan, para ahli memperkirakan, pada akhir abad ke-21, suhu bumi akan meningkat hingga 3,4 derajat celsius. Terjadinya peningkatan suhu muka bumi ini merupakan akibat efek rumah kaca, yakni adanya lapisan karbon dioksida yang terbentuk di lapisan atmosfer, akibat penggunaan bahan bakar fosil dalam berbagai kegiatan industri dan ekonomi. Fenomena ini tak bisa dianggap remeh, mengingat efeknya yang begitu masif dalam berbagai sektor kehidupan. Mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan hidup, stok pangan, ketersediaan air, kesimbangan politik dan ekonomi, hingga pada sektor kepariwisataan dunia.
Khusus kepariwisataan, Ardika membeberkan pertemuan International Conference Climate Change and Tourism 2007 di Davos, Swiss, yang digagas UNEP dan United Nation World and Tourism Organization (UNWTO), yang menemukan adanya hubungan kompleks antara kepariwisataan dan perubahan iklim. Ada 40 persen dari emisi karbon dihasilkan oleh transportasi udara. Sedangkan 20 persen berasal dari aktivitas wisata seperti wahana permainan, museum, belanja, festival wisata, dan lain-lain. Di sisi lain, 5 persen dihasilkan kepariwisataan secara global dan 3,5 persen berasal dari sektor akomodasi (mesin pemanas, AC perawatan restoran, kolam renang, bar, dan lain-lain).
Pemanasan global menurut UNWTO telah memberikan dampak negatif, yakni naiknya permukaan air laut per tahun setinggi tiga milimeter. Penurunan ketersediaan air bersih, bahkan kelangkaan, yang mengurangi daya dukung kehidupan. Di sektor pariwisata, dampak perubahan iklim dapat memengaruhi wisata biodiversitas dan agrikultural dengan berbaga risiko di dalamnya. Antara lain, ancaman kepunahan satwa lewat asumsi tidak bisa berimigrasi, penurunan hasil panen bagi daerah-daerah perkebunan teh serta dampak pada pariwisata yang mengandalkan spesies-spesies ikonik.
Meski begitu, terdapat sejumlah cara untuk membantu industri pariwisata beradaptasi terhadap perubahan iklim, salah satunya menyerap karbondioksida melalui pengelolaan lingkungan, seperti yang dilakukan pemerintah Kosta Rika melalui kebijakan konservasi yang melibatkan setiap warga. Sehingga pantas diberi penghargaan sebagai sistem konservasi terbaik di dunia.
Sejak Perang Dunia II berakhir hingga awal 1990-an, Kosta Rika mengalami deforestasi yang mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem di negara ini. Hampir 80 persen hutan di Kosta Rika dialihfungsikan sebagai peternakan dan perkebunan. Penggunaan pestisida untuk membudidayakan pisang dan buah-buahan lain membuat air terkontaminasi.
Zaman berubah, perilaku berubah. Menjelang 1990 Kosta Rika berbenah. Negara ini menerapkan sejumlah program lingkungan, termasuk Forest Credit Certificate pada 1995 dan Forest Protection Certificate pada 1996. Program yang menyeluruh diinsiasi pada 1997, melalui Payment for Enviorenmental Service (PES) atau Pagos por Servicios Ambientales (PSA). PES di Kosta Rika adalah yang pertama kali di dunia diimplementasikan dalam skala nasional. Landasannya, Foresty La 7575 yang dideklarasikan pada 1996, yang menekankan perlunya memprioritaskan keberlanjutan lingkungan alih-alih aktivitas seperti produksi kayu.
Salah satu alasan utama diterapkanya PES adalah untuk membangun ulang pemahaman subsidi konservasi sebagai pembayaran untuk bentuk-bentuk jasa yang mengarah pada pemeliharaan keberlanjutan lingkungan. Jasa ini mencakup mitigasi emisi gas rumah kaca, pelestarian hidrologi, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemeliharaan lanskap. Gagasan PES sederhana, pemilik tanah diganjar secara finansial untuk aksinya memelihara lingkungan yang bermanfaat untuk orang lain. Sistemnya berjalan siklus sehingga rantai pemeliharaan tidak terputus. Pengguna di dataran rendah, misalnya akan member insentif kepada komunitas di dataran tinggi untuk pepohonan yang ditanam atau hutan yang dijaga sehingga debit air tanah stabil. PES mendorong munculnya aturan-aturan lebih jauh tentang deforestasi dan jasa lingkungan yang mungkin dijual para pemilik hutan. Setelah itu didirikan pula institusi nasional Forestry Financing Fund (Fonafifo) untuk mengawasi sistem pembayaran jasa lingkungan PES. Fonafifo menetapkan bahwa sebagian pajak bahan bakar akan digunakan untuk mendukung konsevarsi lingkungan. Beberapa tahun lalu, Fonafifo mencetuskan cara baru untuk melestarikan sumber daya air dengan menaikan pajak air. Sebesar 25 persen dari pajak air itu dipakai untuk membayar jasa lingkungan yang terkait dana pemeliaharan daerah aliran sungai (DAS).
Kosta Rika tak berhenti berinovasi. Negara ini kini juga memiliki green bank card, kartu debit yang diciptakan untuk mengumpulkan dana konservasi. Dana dari pariwisata pun dikembalikan untuk pelestarian lingkungan. Diperkirakan 53 persen penghasilan dari kepariwisataan didedikasaikan untuk keberlanjutan wisata eko. Area perlindungan di Kosta Rika, sebagai contoh, mendatangkan lebih dari satu juta pengunjung setiap tahunnya, menghasilkan pendapatan dan tiket masuk lebih dari lima juta dolar Amerika pada 2005, dan mempekerjakan sekitar 500 orang.
Keseluruan sistem ini dijalankan memberikan dampak efektif. Negara ini berkomitmen untuk mencapai targetnya sebagai Negara bebas karbon pada 2021.
- Foto: twitter
Patung Kuping Belah.
Target Kosta Rika tentu bukan tanpa tantangan. Namun, melalui kesungguhan pemerintah dan rakyat bukan mustahil target tersebut akan terwujud. Kemampuan Kosta Rika keluar dari persoalan lingkungan dan sebagai pionir pelestarian lingkungan bisa juga ditilik dari berbagai sudut pandang. Misal, berbekal pengalaman sejarah saat mengalami perang saudara mampu menjadi semangat untuk bersatu mensukseskan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, Kosta Rika adalah Negara terkecil kedua di Amerika Tengah yang berbatasan dengan Nikaragua di sebelah utara, Panama di selatan. Melalui keberadaannya, seingat sejarah, Kosta Rika adalah Negara-negara di Amerika Selatan, yang dikenal dengan hutan yang lebat dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Sehingga bisa jadi kehadiran megabiodiversitas itu mengilhami Herge, penulis seri petualangan Tintin, salah satunya berlatar belakang Kosta Rika pada seri Si Kuping Belah (1946).
Kosta Rika bagi Herge adalah latar belakang yang menarik. Jika perang saudara Kosta Rika di tahun 1948 merupakan peristiwa yang paling banyak menyita perhatian dunia, tapi bagi Herge, peristiwa tersebut mampu menjadi jenaka melalui persaingan Jenderal Alcazar dengan Jenderal Tapioca dalam berebut kuasa.
Alkisah, terjadi pencurian patung di Museum Etnografi, Republik San Theodoros, Amerika Selatan. Berangkat dari aksi tersebut, membawa Tintin menyusuri sungai menggunakan kano ke tempat Suku Arumbaya, tempat patung dibuat. Namun, berkat kegigihan dan keberanian, patung monumental tersebut akhirnya berhasil direbut, dan dikembalikan ke museum. Hanya, bukan tanpa rintangan sebab Alonzo Perez dan pembunuh bayaran tak kalah gigihnya merebut.
Melalui seri tersebut dapat dipetik arti, kegigihan dan keberanian adalah modal utama dalam pelestarian lingkungan. Lagi-lagi, bukan mustahil jika Kosta Rika mampu mengembalikan alam tetap hijau dan ke luar sebagai paru-paru dunia. Faktanya cerita Si Kuping Belah melukiskan hal yang futuristis, sama halnya dengan Herge, si futuristis. Bahwa keinginan mengembalikan patung Suku Arumbaya dari Sungai Badurayal semoga serupa dengan cita-cita pemerintah Kosta Rika.
Indonesia pun demikian, punya semangat untuk menjadi paru-paru dunia. Melalui kepariwisataan sebagai salah satu industri, Indonesia punya peran besar dalam merespon perubahan iklim. Melalui studi PES misalnya, diharapkan mampu menahan laju peningkatan emisi karbon sebanyak tiga kali lipat pada 2030. Studi PES di Indonesia ditempuh melalui Reduction of Emissions from Deforestation atau REDD+ (penurunan emisi dan deforestasi dan pengerusakan hutan). Seterusnya belum lama ini, terdapat kunjungan lapangan untuk studi Skema Plan Vivo dan PES di Aik Bual, Kopang, Lombok Tengah, antara Kementerian Lingkungan, Hidup dan Kehutanan RI bersama salah satu organisasi pelestari lingkungan dalam negeri.
Bagaimana praktiknya? Bisa diikuti di tulisan selanjutnya, yang pasti ada spirit setangguh toreador, senor! (A. Santhosa)
Mantap tulisannya bang.. saking bagus dan panjangnya jadi sulit sy fahami sebagai orang awam