HeadlinesKPI

Apa Bisa Agama dan Politik Jadi Satu?

JIKA BICARA tentang demokrasi di Indonesia, tentu saja berkaitan dengan agama. Dan bila sudah masuk di era politik, maka hal tersebut menjadi sebuah perbincangan yang sangat menarik untuk dibahas. Di Indonesia masyarakat bebas memilih keyakinan yang mereka percayai tanpa adanya keterpaksaan dari dalam diri mereka masing-masing. Jika kita kaitkan mengenai agama dan politik, tentu saja keduanya mempunyai kepentingan yang menarik, dan keduanya saling membutuhkan dan seolah-olah keduanya adalah satu team yang menyatu yang tidak bisa dipisahkan. Politik membutuhkan agama sebagai alat legitimasinya, sedangkan agama membutukan politik sebagai alat penyebaran dakwahnya.

Masih banyak yang beranggapan bahwa apabila agama Islam sudah masuk politik, maka agama akan rusak karena persepsi masyarakat terkait politik terkesan jelek dan kotor. Namun jika kita melihat dari sejarah, politik pertama dikenalkan oleh nabi Muhammad SAW. Yang dimana beliau adalah tokoh politik pertama di Madinah. Islam mulai mengenal politik pada 1 Hijriah bertepatan pada dengan tahun 622 M. Hanya dalam waktu 11 tahun, Rasullullah wafat di tahun 11 H, dan pada masa itu kekuasaan pemerintahan beliau meliputi semenanjung Arabia bahkan menyebrang ke Spnayol hingga ke India.

Di dalam Islam juga ada ajaran tentang berpolitik, sebagai seorang muslim kita juga harus peduli dengan politik, jika seorang muslim tidak peduli dengan politik, maka politik akan dikuasai dan dipimpin oleh orang kafir yang tidak peduli dengan orang Muslim. Hal inilah yang mendasari bahwa agama dan politik jika dijadikan menjadi satu maka akan berdampak positif bagi siapapun yang memahaminya. Namun sayangnya, sampai saat ini masih banyak dari mereka meyakini bahwa seorang ulama tidak pantas ikut terjun ke dunia perpolitikan.

Baca Juga :  Soto Banjar Ampenan Kota Mataram

Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya adalah agama Islam, maka banyak sekali yang memanfaatkan peluang untuk menarik hati rakyat dengan mengatas namakan agama pada kepentingan politik mereka. Di tahun politik saat ini tentunya banyak sekali yang melibatkan politik dengan agama, contoh kecilnya di rezim Joko Widodo, melibatkan Ma’ruf Amin sebagai wakilnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa Ma’ruf Amin merupakan tokoh agama yang sebelumnya menduduki jabatan sebagai ketua di nahdatul ulama. Banyak sekali opini masyarakat terkait terjunnya Ma’ruf Amin ke dunia politik, dan beranggapan bahwa jika seorang ulama sudah ikut terjun ke dunia politik, maka politik tersebut akan rusak.

Namun sekarang, jika dilihat dengan politik yang akan terjadi di tahun 2024 mendatang, tentunya banyak sekali calon kandidat, bukan hanya berasal dari presiden dan wakil presiden saja, tetapi banyak juga dari kalangan calon perwakilan daerah yang latar belakangnya adalah seorang ulama. Tentu saja hal tersebut mengundang opini masyarakat terkait keterlibatan agama dan politik. Masyarakat beranggapan bahwa mereka menggunakan agama untuk meraih tujuan politik dan kekuasaan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa agama merupakan medium atau alat yang ampuh dijadikan sebagai pendukung dan penguat di dalam dunia politik.

Apabila dilihat dari pandangan masyarakat yang masih banyak menganggap bahwa politik jika dikaitkan dengan agama akan rusak, maka pendidikan sejarah tentang politik mereka belum sepenuhnya beres. Politik sejatinya adalah seni untuk mengatur kepemerintahan yang ada di Negara, walaupun praktiknya bisa melebar kemana-mana. Pada tingkat tekstual politik maknanya baik-baik saja, namun pada konteks pelaksanaannya politik bisa berubah menjadi menakutkan akibat aktor-aktor di dalamnya. Isu identitas agama (ketakwaan) justru sering kali menjadi perdebatan, dan pada akhirnya agama hari-hari sering disalahkan. Sebenarnya bukan agama nya yang salah tetapi perilaku orangnya yang salah.

Baca Juga :  Optimis Melangkah di Bidang Penyiaran

Agama dan politik adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena agama identik dengan moralitas, jika keduanya dipisahkan maka agama dan politik dianggap dengan politik tanpa moral, atau dengan kata lainmenjauhkan politik dengan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, mari ubah persepsi atau sudut pandang tentang agama tidak boleh disatukan dengan politik, karena pada dasarnya keduanya saling membutuhkan.

PENULIS: Khusnul Bayati, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Mataram, NIM 210301015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *