Mencegah Krisis Komunikasi Lintas Generasi
Bisnisntb.info, Mataram: Setiap orang tentu tak ingin berada di dalam krisis. Lebih-lebih krisis multidimensi, sebagaimana yang sering terdengar belakangan ini, melanda negara-negara berkembang di wilayah Asia maupun Afrika. Angola, Mozambik, Syiria, Mesir, Afrika Selatan. Banyak sebab yang membuat sebuah negara dalam krisis, apakah krisis kepemimpinan yang lantas membuat frustasi banyak pihak dan menimbukan konflik berkepanjangan.
Seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman, kini terlihat betapa mudahnya pakar menyebut krisis atas kondisi yang terjadi saat ini. Bukan sembarangan, karena terdapat tolok ukur untuk menentukan sebuah situasi dalam kondisi krisis atau tidak. Penyebutan kata krisis dari tinjauan psikologi bisa dipengaruhi sikap radikal transparansi di kalangan generasi muda. Didukung oleh kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, transparansi menjadi hal yang mengemuka saat ini.
Pada satu sisi, soal krisis, masyarakat Indonesia pernah akrab dengan situasi ini. Naiknya harga kebutuhan pokok warga (1997), membuat pemerintah tak mampu menahan laju impor dan tak mampu melakukan ekspor oleh kondisi keuangan negara yang tak mendukung. Sebuah formative experience yang jelas membekas di kalangan generasi Indonesia yang lahir antara 1989-1993.
Di lingkaran global, krisis tak lagi berasal dari prinsip yang fundamen melainkan bisa datang dari hal yang bersifat struktural. Fundamen untuk menyebut ekonomi, sementara pendidikan dan kebudayaan untuk struktur. Maka, terhadap fakta tersebut, krisis berarti dapat melanda negara-negara moderen sekalipun, seperti di Eropa dan Amerika, seperti atas dasar kepercayaan warga kepada pemerintah.
Krisis akhirnya majemuk, bahkan untuk kondisi yang berbahaya sekalipun dapat dikatakan krisis. Lebih tajam lagi, parah; genting; atau kemelut. Di bidang ekonomi sering dipakai konotasi suram yang mana sama artinya dengan krisis. Krisis multidimensi sering digunakan untuk menyebut krisis di berbagai segi dan kemungkinan. Di negara-negara berkembang, umum terjadi krisis ekonomi, krisis finansial dan maupun krisis moneter, sedangkan krisis identitas, krisis kabinet, dan krisis kepercayaan sering melanda Negara maju. Adapun krisis identitas, krisis iman, dan krisis kebudayaan lebih sering ditujukan untuk kondisi melawan hegemoni dari sebuah negara. Lantas bagaimana dengan krisis-krisis lain yang ada saat ini, bahkan ke depan? Bagaimana dengan krisis komunikasi? Mungkinkah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan yang sering mengemuka akhir-akhir ini di media.
Krisis komunikasi bisa saja terjadi, Muhammad Faisal pendiri Youth Laboratory Indonesia dalam bukunya Generasi Phi, Republika (2017), menyebut, perbedaan generasi tentu akan memunculkan gap. Mispersepsi dan miskomunikasi sering kali terjadi. Tidak jarang berujung pada perselisihan dan pertengkaran. Dalam rangka menangkal itu, semua lini masyarakat perlu terlibat secara aktif, dan hal ini perlu dimulai denan menggali lebih dalam pemahaman terhadap generasi muda.
Melalui pemahaman seperti itu krisis bisa terjadi di ranah komunikasi. Krisis adalah lukisan tentang situasi yang membutuhkan satu keputusan yang harus dambil oleh seorang kepala negara, guru dan budayawan, tokoh masyarakat, dokter, pakar, serta ekonom dll.
Pertumbuhan referensi generasi muda dari periset diharap mampu mengatasi krisis komunikasi antar generasi. Semakin banyak referensi kehidupan generasi muda sedianya mampu menyelesaikan persoalan generasi muda, menambah kepercayaan generasi muda, dan mampu menyusun peta jalan generasi setelah milenial. Indonesia sudah dikenal sejak dulu sebagai pemimpin dunia melalui sejumlah kebijakannya di tataran global. Konferensi Asia-Afrika, kebijakan politik bebas aktif, serta kiprah pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sehingga bukan tidak mungkin lagi membuka memori kolektif tersebut di tengah generasi muda Indonesaia sekarang. Ibarat membuka black box (percakapan pilot di dalam kokpit), semuanya membutuhkan metode yang jitu.
Muhammad Faisal menyatakan, bahwa inti permasalahan dunia pemuda saat ini terletak di pada gap pemahaman antara satu generasi dengan generasi lainnya. Satu kelompok generasi dan generasai lainnya dipisahkan oleh jurang prasangka dan steriotif. Sehingga, setiap hari terjadi akumulasi stigma dan labeling negative bahwa generasi muda Indonesia sudah tidak sejalan dengan kehidupan.
Stigma dan labeling ini bila dipesepsi secara kolektif oleh sebuah generasi yang lebih senior maka akan menjadi realitas sosial yang diinternalisasi oleh generasi muda, baik itu milenial ataupun generasi setelahnya.
Generasi baru Indonesia atau milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1989 hingga 2000. Mereka belum lahir atau berusia di bawah 10 tahun ketika peritiwa reformasi 1998. Reformasi 1998 menjadi satu batas penting bagi karakter generasi milenial karena setelahnya bangsa Indonesia mengalami banyak sekali perubahan cara pandang dan gaya hidup yang dipicu era keterbukaan. Apa makna reformasi 1988 bagi generasi milenial yang ketika peristiwa itu terjadi atau berada di bawah usia 10 tahun? Menurut seorang psikolog terkemuka Eric Erickson, anak yang berusia di bawah 10 tahun belum mengalami krisis identitas. Oleh sebab itu, milenial belum dapat menginternalisasi peristiwa bersejarah tersebut. Akhirnya, ia tumbuh menjadi generasi dengan identitas yang sangat cair dan cara berpikir yang fleksibel.
Generasi milenial adalah The Curator. Generasi yang lebih banyak melakukan kurasi-kurasi. Berbeda dengan generasi sebelumnya, milenial tumbuh besar dalam lingkungan pop culture yang sudah mapan atau tersedia dengan baik di ekosistem mereka. Tak terbatasnya informasi yang bisa diakses membuat karakter dan identitas generasi milenial condong lebih mirip seorang curator. Yaitu banyak memilah dan memilih informasi yang akan dikemas menjadi sebuah kreasi, dibandingkan dengan menjadi seorang kreator sebagaiamana generasi sebelumnya. High taste atau selera yang tinggi memiliki nilai yang penting bagai karya seroang genraasi milenial. Di sisi lain milenial memiliki kemampun out of the box yang sangat tinggi. Akan tetapi, milenial tidak memiliki jiwa survive. Mereka lebih senang untuk independen dalam berpikir. Lebih dari itu milenial tumbuh di era pascareformasi, doktrin politik itu tidak seintens dan sekuat pada era generasi sebelumnya. Milenial cenderung mudah memindah afiliasi politis mereka dari satu idelogi ke ideologi lain.
Jika dalam mengakhiri krisis peperangan dalam era nuklir membutuhkan keputusan guna mengakhiri krisis kepercayaan, dan konfrontasi yang berlaku. Pada tantangan mengurangi gap antar generasi, pada saat yang sama juga akan mampu mempersiapkan generasi berikutnya butuh penelitian untuk mengetahui dan memaham generasi milenium ke tiga lewat pengelompokan. Kelompok generasi yang khas Indonesia.
Generasi senior sering salah tafsir terhadap generasi milenial. Padahal, informasi maupun data tersaji dengan lengkap. Terdapat ketidak cermatan dalam melihat milenial yang memiliki pengetahuan terpisah dari generasi senior. Diperlukan sebuah perantara yang mampu menerjemah generasi muda yan sedang on the rise. Perantara tersebut antara lain praktisi, pendidik dan orang tua, bahkan siapa pun yang beririsan dengan kehidupan generasi muda.
Kenapa diperlukan perantara?
Fight or flight adalah dua reaksi alamiah manusia ketika sedang menghadapi hambatan internal di dalam diri. Kondisi ini dialami generasi muda ketika tengah menghadapi berbagai tantangan zaman. Terlebih lagi di era digitalisasi berbagai ruang kehidupan, fight menjadi lebih berat dibandingkan dengan flight tantangan hidup yang mereka hadapi.
Modul-modul menjadi sebuah kemestian. Apalagi saat ini berbagai modul lifestyle dari luar negeri masuk deras ke relung-relung kehidupan generasi muda Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa kita bendung. Sebab merupakan salah satu akses globalisasi. Akan tetapi di tempat lain, salah satu reaksi flight yang secara organik terjadi di berbagai scene social anak muda adalah ekstraksi nilai-nilai budaya lokal.
Hingga saat ini arus gerak budaya di relung kehidupan anak muda masih berjalan secara organik. Ia seakan-akan menjadi antitesis dari arus lifestyle yang tengah diadopsi anak muda. Gerakan organik dapat didesiminasikan juga diaplikasikan dengan baik apabila terdapat kesadaran intervensi budaya baik apabila terdapat kesadaran intervensi budaya baik dari generasi senior, komunitas, maupun level pemerintah.
Bila budaya dapat menjadi jembatan penyambung persepsi dan pemahaman antar generasi, jurang prasangka dan steoritip akan dapat diperkecil. Tak hanya itu perkembangan youth culture di tengah scene anak muda lantas memilih sinergi lintas generasi yang lebih baik. Anak muda akan mengekspresikan berbagai inovasi yang sesuai dengan genetis budaya masayarakat. Mereka tidak sekadar melakukan imitasi serta replikasi tren dari luar negeri.
Implikasi hal ini tak hanya bersifat solutif di kehidupan anak muda yang sebelumnya banyak melakukan flight (mencari pelarian dari masalah), tetapi bisa bersifat preventif. Sebagai contoh, berbagai paham asing yang masuk kini mengancam kehidupan kebangaaan, sebagaimana paham radikal. Paham-paham ini dapat dibendung dengan sebuah saringan kognitif, yaitu budaya lokal. (AGUS SANTHOSA)